Antariksa


Peneliti Temukan Planet Bertabur Berlian
Planet berjarak 1.200 tahun cahaya dari Bumi itu mengorbit terlalu dekat ke mataharinya.


          Joseph Harrington, astronom dan profesor dari University of Central Florida, Amerika Serikat, dan timnya menemukan bahwa terdapat lebih banyak karbon dibanding oksigen pada atmosfir planet WASP-12b. Planet itu berjarak 1.200 tahun cahaya dari Bumi.

Temuan ini mengindikasikan bahwa bebatuan yang ada di seluruh planet itu terdiri dari karbon murni, dalam bentuk berlian atau grafit. Meski belum bisa dipastikan, tetapi planet yang sangat kaya akan karbon itu kemungkinan juga memiliki inti berlian dalam jumlah besar.

“Secara umum, planet biasanya memiliki jumlah oksigen yang sangat banyak yang membuat bebatuan seperti kuarsa dan gas seperti karbon dioksida bisa tersedia dalam kuantitas besar,” kata Harrington.

Tetapi, kata Harrington, jika karbon lebih banyak dibanding oksigen, maka akan banyak batu-batuan yang terdiri dari karbon murni seperti berlian dan grafit. Selain itu akan ada banyak gas metana.

Tim peneliti melakukan analisa kimia berdasarkan teleskop ruang angkasa Spitzer milik NASA. Mereka membandingkan perilaku inframerah gas-gas yang ada untuk menentukan komposisi atmosfir planet yang bersangkutan.

Meski karbon merupakan salah satu elemen penting yang membentuk kehidupan, WASP-12b tampaknya tidak dapat dihuni oleh makhluk hidup.

“Jaraknya terlalu dekat dengan mataharinya, dan setahun planet itu hanya berlangsung selama 26 jam saja,” kata Harrington. “Temperatur di siang hari pada planet yang diperkirakan bertaburan berlian itu juga sangat panas, mencapai sekitar 2.600 derajat Celcius. Planet itu juga rusak akibat besarnya gaya gravitasi dari mataharinya itu,” ucap Harrington.

Sebagai informasi, WASP-12b pertamakali ditemukan oleh konsorsium Wide Angle Search for Planets asal Inggris pada tahun 2009 lalu.
Gunung Berapi Es Ditemukan di Bulan Saturnus
Pesawat luar angkasa Cassini menemukan tiga gunung berapi es di bagian selatan Titan.


           Para peneliti menemukan bukti keberadaan sebuah gunung berapi es atau disebut juga dengan cryovolcano, di Titan, bulan terbesar yang dimiliki oleh Planet Saturnus.
Pesawat luar angkasa Cassini yang dikirim ke Saturnus sejak 1997, berhasil menemukan tiga buah gunung api es dengan puncak setinggi 1.000-1.500 meter yang mengeluarkan material ke segenap permukaan di sekitarnya.
"Yang kami temukan adalah sesuatu yang tak lain adalah gunung berapi. Akhirnya, kami menemukan beberapa bukti bahwa Titan adalah dunia yang aktif," kata Dr Randy Kirk, pakar Geofisika US Geological Survey yang juga anggota tim radar Cassini, pada acara pertemuan American Geophysical Union.
Seperti dilansir oleh situs Wired.com, Titan adalah satu-satunya tempat selain bumi yang memiliki danau, sungai, awan, dan sebuah siklus penguapan serta kabut atau hujan, yang menghubungkan semuanya.
Puncak dari cryovolcano itu, terdapat di daerah Titan bernama Sotra Facula yang terletak di bagian Titan sebelah selatan. Gunung berapi ini dinamakan juga sebagai "The Rose", karena dari gambar yang tertangkap oleh instrumen radar dan infra merah Cassini, gunung berapi ini seperti bunga mawar.
Titan memang sudah sejak lama diperkirakan memiliki cryovolcano. Namun, karena atmosfer Titan yang begitu berkabut, observasi terhadap kecurigaan itu sangat sulit dibuktikan. 
Temuan baru ini diharapkan dapat membantu menjelaskan misteri Titan yang selama ini belum terpecahkan. Atmosfer Titan yang tebal dan kaya akan nitrogen memiliki kandungan metan dalam jumlah yang cukup banyak. Secara teoritis dalam waktu sekitar 10 juta tahun, kandungan metan ini akan dipecah oleh sinar matahari.
Oleh karena itu, keberadaan gunung berapi ini diperkirakan dapat mengisi kembali kandungan metan di atmosfer Titan. "Cryovolcano menawarkan skenario yang sempurna di mana gas metan dari dalam perut Titan keluar ke lapisan atmosfernya," kata Linda Spilker, ilmuwan pada proyek Cassini dari Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California.
Memang belum diketahui secara pasti material apa yang dimuntahkan gunung berapi ini ke angkasa Titan. Bisa saja air, atau air dan amonium, atau unsur-unsur hidrokarbon.
Keberadaan cryovolcano di Titan, diharapkan suatu hari bisa membantu para ilmuwan menyimpulkan adakah kehidupan di Titan, atau mungkin kehidupan pernah ada di Titan. (art)
Satelit Peneliti Kotoran Manusia di Antariksa
Tim dari Florida akan meluncurkan satelit khusus untuk meneliti bakteri di kotoran manusia


         Satelit penelitian akan diterbangkan ke luar angkasa untuk menguji apakah kotoran manusia bisa digunakan untuk menjadi sumber energi di luar angkasa.
Proyek yang dipelopori oleh para ilmuwan dari Florida itu akan fokus pada penelitian terhadap bakteri yang dikenal dengan nama Shewanella, yang bisa mengkonversi kotoran manusia menjadi hidrogen, sehingga bisa digunakan untuk fuel cell. 
"Ini adalah suatu potensi yang bisa digunakan untuk bisa mengolah kotoran untuk membangkitkan listrik pada setiap misi kemanusiaaan ke luar angkasa," kata Donald Platt, Program Director for Space Sciences, Florida Institute of Technology, seperti dikutip dari situs Discovery.
Oleh karenanya, para ilmuwan akan meneliti apakah mikroba itu bisa selamat dan bertahan hidup di lingkungan luar angkasa yang begitu keras. Tim akan meneliti ketahanan mikroba Shewanella, yang akan diterbangkan dengan eksperimen sekunder lain pada satelit milik PBB. 
Satelit misi UNESCO, itu dijadwalkan akan meluncur tahun depan. Misi eksperimen sekunder lainnya adalah pengujian terhadap koloni mikroba lainnya untuk mengetahui apakah mereka bisa selamat untuk bermigrasi antara Bumi dengan Mars, atau sebaliknya.
Kedua percobaan ini semuanya dilakukan dalam satelit kontainer kecil, bernama CubeSat, yang beratnya hanya sekitar 2 pon atau sekitar 907 gram dan bentuknya seperti kubus dengan sisi-sisi sepanjang 4 inci atau 10 cm. Peluncuran satelit ini bekerja sama dengan pihak Rusia.
Rusia menyediakan roket peluncur dan sasis satelit UNESCOSat untuk menerbangkan CubeSat. Rusia mengusulkan misi edukasi PBB ini sebagai bagian dari perayaan ulang tahun ke-50 kosmonot Yuri Gagarin, yang pada 12 April 1961, menjadi orang pertama yang berhasil mencapai luar angkasa. 
Satelit UNESCOSat ini sebenarnya adalah
UNESCOSat ini diharapkan bisa tetap mengorbit antara 3- 5 tahun. Adapun mikroba yang dibawa pada CubeSat dibekali dengan banyak makanan, yang akan habis dalam beberapa minggu. "Bila sesuatu terjadi, hal itu akan terjadi dengan cepat," kata Platt. Sebab, kata dia, di luar angkasa terdapat berbagai aspek unik. 
"Kita tidak tahu apakah mikroba itu akan bisa hidup dan berkembang biak atau tidak. Pengujian di lab memang satu hal, tapi di luar angkasa akan terjadi banyak perubahan sistem biologis, baik itu yang baik, maupun yang buruk," katanya. (hs)

Bintik Saturnus Ternyata Badai Raksasa
Great White Spot merupakan fenomena serupa seperti Great Red Spot di planet Jupiter.


        Saat planet Bumi berkali-kali mengalami serangan badai dahsyat, Saturnus ternyata sering mengalami badai yang berkali-kali lipat lebih mengerikan. Misalnya pemunculan Great White Spot, sebuah bintik yang kerap terlihat di Saturnus.

Dari pemantauan yang dilakukan oleh satelit Cassini pada Saturnus, ternyata, Great White Spot merupakan badai berukuran raksasa, berukuran hingga mencapai ribuan kilometer, yang melintas di kawasan selatan planet tersebut.

Great White Spot merupakan fenomena serupa seperti Great Red Spot yang terjadi di planet Jupiter.

Di Saturnus, badai raksasa itu hadir setiap sekitar 28,5 tahun sekali. Sebelumnya, badai ini pernah hadir tahun 1876, 1903, 1933, 1960, dan 1990. Artinya, badai berikutnya diperkirakan baru akan hadir di tahun 2018 mendatang.

Meski begitu, ada juga badai yang kadang muncul di luar siklus rutin badai, misalnya di tahun 1994 dan 2006 lalu. Seperti dikutip dari MSN, 29 Desember 2010, pada malam Natal lalu, Cassini kembali menemukan munculnya badai di Saturnus.

“Badai seperti ini diperkirakan muncul akibat ketidakstabilan suhu yang melontarkan berton-ton material dari atmosfir bawah planet ke bagian atas atmosfir,” kata Carolyn Porco, peneliti dari Space Science Institute. “Saat badai ini bersinggungan dengan siklus badai rutin yang setiap 28 tahun, ia menjadi sangat raksasa hingga dapat mengitari seluruh planet,” ucapnya.

Seperti saat ini, Porco menyebutkan, kamera pada Cassini berhasil menangkap badai raksasa yang hadir di kawasan utara Saturnus. “Secara teknis, kami belum mengetahui apakah badai ini akan berkembang menjadi Great White Spot,” ucap Porco.
“Namun, meski tidak mendapat reputasi ‘great’ badai yang terjadi di Saturnus ini lusinan kali lipat lebih besar dibanding badai dahsyat yang hadir di Bumi,” ucapnya. (umi)